BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis yang melandanya Indonesia oleh
pengaruh malaise dan diangkatnya de Jonge sebagai Gubernur Jendral yang baru
pada tahun 1931 yang sangat reaksioner ternyata telah memberi akibat yang
sangat buruk bagi Indonesia, baik dalam segi sosial-ekonomi maupun kehidupan
politik. Sesuai dengan keadaan kehidupan sosial-ekonomi yang sangat tertekan
akibat depresi ekonomi. Apalagi kehidupan di bidang politik memang sangat
ditekan sekali oleh pemerintah de Jonge. Dalam kehidupan politik, gerakan yang
tidak radikal itu telah didorong ke arah politik non-radikal, justru seharusnya
pemerintah yangb mendorong mereka ke arah politik kooperasi.
Dibawah
tekanan politik Gubernur Jendral de Jonge politik non kooperasi menjadi lumpuh,
akibatnya muncul kaum kooperator yang di dalam Volksraad. Dalam masa itu
muncullah Petisi Soetarjo
pada tahun 1936 yang berisi usul Indonesia berdiri sendiri tetapi tidak lepas
dari kerja sama Belanda, dan GAPI pada tanggal 21 Mei 1939 yang merupakan kerja
sama partai-partai politik dan organisasi-organisasi di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai
berikut:
1.2.1
Apa yang melatar belakangi timbulnya
Reorientasi dan Reorganisasi di Indonesia?
1.2.2
Bagaimana Reorientasi dan Reorganisasi
itu?
1.2.3
Bagaimana pembentukan Petisi Soetardjo?
1.2.4
Bagaimana sikap-sikap terhadap adanya
Petisi Soetardjo?
1.2.5
Bagaimana usaha pembentukan badan
persatuan dalam menghadapi politik kolonial?
1.2.6
Apa alasan dibentuknya Gabungan Politik
Indonesia (GAPI)?
1.2.7
Bagaimana aksi GAPI dalam “Indonesia
Berparlemen”?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah
di atas dapat diketahui tujuan penulisan makalah, yaitu:
1.3.1
Mengetahui latar belakang timbulnya
Reorientasi dan Reorganisasi di Indonesia;
1.3.2
Mengerti tentang Reorientasi dan
Reorganisasi;
1.3.3
Mengetahui tentang pembentukan Petisi
Soetardjo;
1.3.4
Mengetahui berbagaisikap terhadap adanya
Petisi Soetardjo;
1.3.5
Mengetahui usaha pembentukan badan
persatuan dalam menghadapi politik kolonial;
1.3.6
Mengerti alasan dibentuknya Gabungan
Politik Indonesia (GAPI);
1.3.7
Mengetahui aksi GAPI dalam rangka aksi
“Indonesia Berparlemen”.
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1 Krisis Dunia dan Politik Kolonial
Pada tahun 1930-ankeadaan ekonomi bangsa Indonesia yang hidup tiba-tiba
berubah karena depresi ekonomi yang melanda dunia, demikian juga di Indonesia
ada tanda bahwa kemakmuran yang tampak pada akhir tahun 1920-an tidak akan
bertahan lama. Harga beberapa produk Indonesia menurun, pengangguran kesempatan kerja, pemotongan gaji, dan rendahnya upah. Kesemuanya itu merupakan akibat dari
politik ekonomi yang pada satu pihak menjalankan penghematan secara
besar-besaran dan dipihak lain hendak mempertahankan pendapatan ekspor terutama yang
diperoleh dari hasil perkebunan, padahal nilai gulden yang dipertahankan mau
tidak mau mengurangi daya beli negara-negara pengimpor.
Pada tahun 1930,
sebanyak 52% dari produk-produk ini diekspor ke negara-negara industri Eropa
dan Amerika Utara. Krisis ekonomi di kedua daratan ini yang berakibat
diberlakukannya kebijakan proteksi secara menyeluruh, ditambah dengan
harga-harga yang menurun, tiba-tiba menjerumuskan Indonesia ke dalam suatu
krisis ekonomi yang tak pernah sepenuhnya teratasi sebelum penaklukan oleh
bangsa Jepang pada tahun 1942.
Fluktuasi harga
tadinya telah menjadi fenomena umum, tetapi kini harga untuk seluruh ekspor
utama Indonesia turun secara bersamaan dan menimbulkan bencana. Volume ekspor juga turun karena menciutnya
pasar dan diberlakukannya kebijakan proteksi. Untuk mempertahankan tingkat keuntungan maka
penurunan upah dijalankan dan dilaksanakan pemecatan kaum buruh.
Dalam ekonomi
dualistis pihak ekonomi pertanian tradisionallah yang memperoleh tekanan paling
berat. Pada kenyataanya,
setelah lebih dari satu abad berlangsung, depresi akhirnya menyebabkan ekspor
Indonesia tidak lagi didominasi oleh gula dan kopi. Orang-orang Jawa yang bekerja pada
perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur mulai kembali lagi ke daerahnya karena
kesempatan kerja sudah tidak ada lagi disana. Akibatnya, pendapatan Indonesia
diluar Jawa lebih merosot dibandingkan dengan di Jawa, tetapi krisis memang
memukul semua wilayah.
Pemerintah kolonial
Belanda tidak lagi menggunakan naluri ekonomi laissez-fairenya dalam rangka
meredakan tingkat bencana. Salah satu kesulitan terbesar Batavia muncul dari
penetrasi Jepang yang tiba-tiba terhadap ekonomi Indonesia. Yang mana pada tahun 1929-1930, Jepang mengisi
10% dari nilai total impor Indonesia. Sementara Belanda masih terpaku pada standar emas
hingga September 1936, Jepang mendevaluasikan yen pada tahun 1931 dan
selanjutnya dengan cepat menggantikan
posisi Belanda dalam impor Indonesia.
Pada tahun 1934,
negosiasi dengan Jepang untuk membatasi penetrasi impornya gagal. Kemudian pada tahun 1936, Batavia dan Tokyo
sudah mencapai kesepahaman informal tentang masalah perdagangan. Impor Jepang pun turun 25% dari total nilai
impor Indonesia pada tahun 1937 dan akhirnya kalah dibandingkan dengan impor
Belanda pada tahun 1938. Karena Jepang didorong keluar dari pasar yang telah
mereka masuki, bangsa Indonesia mendapatkan barang-barang yang lebih mahal
sebagai pengganti barang-barang Jepang yang murah.
Dampak krisis ini
terhadap bangsa Indonesia jelas sangat serius. Para pemikir Indonesia cenderung
kembali ke pertanian untuk menyambung hidup, namun juga benar bahwa banyak diantaranya tidak memiliki
kesempatan itusama sekali. Dalam kenyataanya, ketersediaan bahan makanan untuk
per kapita menurun dari tahun 1930 hinggatahun1934. Sungguh tidak diragukan lagi bahwa setidaknya
hingga akhir tahun 30-an kesejahteraan Indonesia menurun. Bagi banyak orang
Indonesia, zaman tetap saja sangat sulit sampai ke masa penaklukan Jepang.
Seperti halnya tidak ada alasan untuk optimis dalam bidang ekonomi pada
tahun 1930-an, demikian pula tidak ada alasan yang sama di bidang politik.
Jelaslah bahwa kepentingan kaum perkebunan dijadikan dasar politik ekonomi
pemerintah Hindia Belanda itu tidak lain karena hasilnya menjadi tulang
punggung perekonomian pemerintah kolonial, disamping itu juga karena pemerintah
Belanda benar-benar telah condong ke kanan. Golongan kepentingan itulah yang
sangat berpengaruh, terutama golongan Vaderlandse Club (VC), yang sikapnya
sangat reaksioner terhadap gerakan nasionalis. VC tidakbersedia memberi konsesi apapun oleh karena
Negeri Belanda masih bertanggung jawab penuh atas jalanya pemerintahan di
Hindia Belanda, lagi pula bangsa Indonesia dianggap belum masak untuk melakukan
pemerintahan sendiri. Cita-cita seperti penentuan nasib sendiri,
kemerdekaan, dan demokrasi, kesemuanya itu hanyalah gagasan liar
pemimpin-pemimpin fanatik yang ekstremis. GJ de Greaff yang liberal tidak
berdaya menghindari tekanan golongan konservatif, lebih-lebih GJ de Jonge yang
menjabat sebagai gubernur jendral antara tahun 1931 dan tahun 1936 mantan
menteri peperangan dan Direktur Royal Dutch Shell. Dia menentang semua bentuk
nasionalisme dan juga tidak ingin melihat Volksraad memainkan peranan penting. Rapat-rapat politik orang Indonesia sering
kali dibubarkan oleh pihak polisi dan para pembicaranya ditangkap.
Penganti de Jonge, Alidius W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouer
(1936-1945), sedikit lebih luwes, namun tidak membawa perubahan besar. Menteri
urusan Daerah jajahan di Den Haag mulai tahun 1933 sampai tahun 1937 adalah
Hendrikus Colijn, orang yang sangat menentang ide-ide Etis dan pernah menjadi
Direktur Shell. Maka tidak mengherankan apabila nasionalisme hanya mendapat
sedikit kemajuan.Pada tahun 1930-an, Belanda benar-benar menguasai Indonesia
dan bertekad untuk tetap begitu.
2.2 Reorientaasi dan Reorganisasi
Bahwasannya penangkapan dan pembuangan
tokoh-tokoh nasionalis sebagai pelaksanaan politik keras dan reaksioner
pemerintah HB mempunyai dampak kuat pada sifat serta arah perjuangan kaum
nasionalis tidak dapat disangsikan lagi. Perjuangan radikal yang hendak dikonfrontasi
dengan penguasa kolonial pasti menemui kegagalan oleh karena
pihak yang terakhir memiliki prasarana kekerasan. Dalam menghadapi politik tangan besi de Jonge,
gerakan nonkooperasi tidak akan menghasilkan sesuatu apapun, dengan adanya
berbagai reaksioner, antara lain larangan dadakannya rapat-rapat umum, pengetatan
pengawasan polisi rahasia, dan pers pun tidak luput dari pengawasan ketat.
Disamping menghadapi kesulitan ekonomi,
politik keras tersebut tidak memberi alternatif lain kecuali mengubah haluan,
ialah dari nonkooperasi ke kooperasi, selain dari faktor tersebut, ada faktor
historis lain yang turut mempengaruhi perubahan orientasi nasionalis, yaitu
konstelasi dunia internasional waktu itu. Dasawarsa tiga puluhan menyaksikan
munculnya nazisme atau fasisme di Eropa Tengah yang dalam ekspansinya mendesak
kedudukan negara-negara demokrasi di satu pihak, negara komunis di pihak lain.
Sementara itu suasana politik dunia semakin
tegang, tambahan pula Jepang dengan pemerintahan militernya menjalankan pula
ekspansionisme di daerah Pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia
kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi fasisme tidak ada alternatif lain
daripada memihak demokrasi. Ada kebersamaan yang mendekatkan kaum nasionalis dengan
penguasa kolonial,yaitu mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme. Kesadaran itu muncul dulu dari kalangan PI
yang mulai mengambil haluan kooperasi.
Dalam konteks politik Eropa Barat bahaya itu
nyata sekali sehingga PI menurut prinsip idiologis harus menjalankan politik
kooperasi itu.Jadi, bukan semata-mata sekedar soal stretegi atau taktik saja. Sebaliknya dalam arena politik Indonesia
secara nyata dirasakan penghambatan terhadap kolonialisme, sedang fasisme
dikenalnya secara tidak langsung, sehingga politik kooperasi pada umumnya
ditempuh sebagai strategi atau taktik dan bukan soal prinsip ideologi.
Dari kenyataan atau perumusan tujuan
orgnisasi-organisasi, baik yang sejak awal bersikap kooperatif maupun yang
bersikap nonkooperatif, kesemuanya mengarah pada cita-cita Indonesia merdeka. Meskipun ada perubahan sikap dan taktik namun
fokus perjuangan sudah mantap sehingga titik pengarahan kekuatan semakin mantap
fungsinya sebagai penggemblengan solidaritas nasional.
2.3
Petisi Soetarjo
Untuk membangkitkan kesadaran nasional serta
gerakan-gerakan atau aksi-aksi yang dapat mengkonsolidasi solidaritas dalam dan
antar partai. Salah satu titik pengerahan gerakan itu ialah apa
yang kemudian dikenal sebagai Petisi Soetarjo. Pada tanggal 15 juli 1936,
Soetarjo Kartohadikoesoemo selaku wakil PPBB dalam DR mengajukan usul petisi
kepada pemerintah HB agar diselenggarakan suatu komperensi Kerajaan Belanda,
dimana dibahas status politik Hindia Belanda dalam sepuluh tahun mendatang,
yaitu status otonomi didalam batasab artikel 1 dari UUD Negeri Belanda.
Diterangkan bahwa suatu kerja sama antara Indonesia dan Belanda sangat
dibutuhkan agar tidak merugikan kedua bela pihak. Semangat itu dapat dihidupkan
dengan suatu penyusunan rencana yang matang untuk menentukan hubungan antara
Belanda dan HB dalam bidang ekonomi, sosial, kultural dan politik sesuai dengan
kebutuhan masing-masing pihak.
Petisi itu juga ditandatangani oleh I.J
Kasimo,Ratulangi, Datoek Toemenggoeng, dan Kwo Kwat Tiong. Rumusan petisi itu bernada sangat moderat,
yang sungguh mencerminkan tidak hanya jiwa kooperasi tetapi juga sikap
hati-hati dengan memakai langkah yang legal, lagi pula tidak keluar dari kerangka konstitusional yang berlaku.Petisiitutidakbersifat
revolusioner. Kalaupun hasinya belum
kongkret namun konperensi itu sangat bermanfaat untuk penjajangan pendirian
pihak masing-masing. Sudah barang tentu
petisi itu banyak menimbulkan reaksi baik dikalangan resmi maupun yang tidak
resmi, yang keseluruhannya menunjukkan keanekaragamjan corak partai dan
pendirian politik tertentu.
2.4
Berbagai sikap
terhadap Petisi Soetarjo
Kalau dari pihak Indonesia ada yang tidak
setuju dengan petisi itu, maka alasannya bukanlah soal isi petisi tersebut,
tetapi seperti yang diajukan oleh Goesti M. Noer ialah caranya mengajukan
dengan menengadakan kedua tangan itu. Disamping itu dari Fraksi Nasional ada
yang bersikap skeptic akan hasil yang dapat dicapai oleh petisi itu, lagi pula
petisi-petisi itu dapat melemahkan usaha-usaha lain yang memperjuangkan otonomi
Indonesia.
Dari pihak Belanda, kecuali IEV, pada umumnya
tidak dapat diharapkan ada dukungan terhadap petisi itu. EIV menganggap ide Dewan Kerajaan sesuai
dengan ide Negeri Belanda Raya yang mencakup bagian daerah-daerahnya. Sebaliknya VC memandang petisi itu terlalu
premature serta tidak sesuai, yaitu bahwa dalam bidang ekonomi dan social HB
belum cukup berkembang untuk dapat berdiri sendiri.
Partai-partai Kristen, dan CPS, berpendapat
bahwa petisi itu diajukan pada waktu yang tidak tepat oleh karena ada
masalah-masalah lain yang lebih besar yang sedang dihadapi. Disamping itu dipersoalkan apakah kesatuan
dalam lingkungan Pax Neederlandica dapat dipertahankan, antara lain karena
perkembangan politiknya belum mantap.
Dalam pemungutan suara di DR akhirnya 26
setujudan 20 melawan, sehingga petisi dapat diteruskan ke Negara Belanda. Dalam
pada itu jawaban formal mencakupalasan-alasan sebagai berikut:
1.
Berdasarkan tingkat perkembangan politik di Indonesia petisisangat premature;
2.
Dipersoalkan bagaimana kedudukan minoritas
didalam struktur politik baru itu;
3.
Siapakah yang akan memegang kekuasaan nanti;
4.
Tuntutan otonomi dipandang sebagai hal yang
tidak wajar alamiah, karena pertumbuhan ekonomi, social, dan politik belum
memadai.
Buktinyata Kolonial senantiasa menghendaki status quo, setiap perubahan dianggapnya
sebagai ancaman sehinggapetisi dianggap terlalu prematur. Perkembangan di bawah pimpinan Belandalah yang
dianggap wajar alamiah. Waktu mengajukan petisi itu juga dianggap tidak tepat
oleh karena sedang direncanakan reformasi struktur politik administrates
sebagai pelaksanaan rencana Colijn, ialah terbentuknya “Negara-negara Pulau”,
seperti Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.
Dengan demikian, penguasa Kolonial hendak
memberi pelegitimasian kekuasaannya untuk menjajah di masa mendatang. Meskipun politik etis sedah bangkrut, namun
paternalismenya masih berpengaruh sekali.
Penolakan petisi pada umumnya tidak terlalu banyak menimbulkan
kekecewaan oleh karena sudah dapat diduga sebelumnya. Adapun salah satu reaksi ialah berupa gagasan Tabrani yang merencanakan agar petisi
disebarluaskan dikalangan rakyat yang kemudian didirikan Komite Sentral Petisi
Soetarjo. Gagasan itu memperoleh dukungan tidak hanya dari partai-partai dan
para pengusul petisi, tetapi juga dari golongan luar, antara lain dari PAI, PM
dan lain-lain. Hanya PSII dan PNI tidak mau bergabung oleh karena tidak setuju
dengan petisi tersebut. Alasanya ialah bahwa petisi seperti itu membunuh
semangat perjuangan bangsa. Sementara itu Gerindo dan Parindra tidak
menyetujui tujuan petisi, tetapi setuju dengan penyelenggaraan Komperensi Kerajaan.
Dalam tahun 1938 para pendukung petisi
dimana-mana menyelenggarakan rapat-rapat umum untuk menyatakan dukungannya
terhadap petisi itu.
Kekecewaan terhadap penolakan petisi Soetarjo
kemudian disusul oleh masalah-masalahlain, diantaranya yaitu:
1.
Tetap adanya mayoritas non pribumi dalam DR;
2.
Tidak dipilihnya orang Indonesia yaitu
Djajadiningrat sebagai ketua DR.
Dari kedua fakta itu jelaslah bagi umum bahwa gambaran
Belanda mengenai staatkundinge
verhoudingen (hubungan dan kedudukan politik atau ketatanegaraan) antara
Belanda dan Indonesia tetap tidak berubah. Jadi HB sebagai daerah jajahan dan dipandang
belum waktuny auntuk diberi status politik yang lebih mengarah pada penggerasan
kekuasaan berdasarkan self-determination. Politik etis dan paternalisme masih
benar-benar berpengaruh, sejengkal pun ternyata tidak mau mundur, hal itu
tampak jelas sekali dari tanggapan Belanda terhadap beberapa masalah sampai
dengan pengaruhnya kepada Jepang.
2.5 Usaha Lebih Lanjut Bagi Pembentukan Badan Persatuan
Dengan kekandasan PPPKI, sesungguhnya ide
untuk membentuk badan persatuan tidak padam. Untuk menghadapi tekanan politik dari pihak penguasa kolonial yang sangat kuat, kaum nasionalis belum berasil
menciptakan solidaritas yang memadai untuk memupuk persatuan yang utuh dan
lengkap. Hal itu disebabkan
Karena adanya faksionalisme antar dan dalam organisasi sebagai akibat pluralism
masyarakat Indonesia. Dalam pada itu ada faktor-faktor kepribadian yang
mempersukar proses integrasi.
Dikalangan organisasi Islam ide kongres Al-Islam ditahun dua puluhan dihidupkan lagi. Di bawah pimpinan H.Mansur kongres itu
diselenggarakan oleh MIAI dari tanggal 26 Februari sampai 1 Maret 1938. Dari organisasi non-religius yang hadirialah
Parindra dan Taman Siswa. Sesuai dengan sifatnya MIAI dan kongres itu tidak
membuat keputusan yang bersifat poitik.
Sementara itu dari berbagai pihak juga
dilontarkan ide untuk membentuk persatuan, antara lain dari media massa. Dua
partai besar, parindra dan PSII, bersama-sama merencanakan mendirikan badan
federasi. Kemudian gerindo dan
Pasoen dan ikut serta dalam perundingan. Yang akhirnya pada akhir maret 1938 di Bandung yang
dihadiri oleh keempat organisasi tersebut sebagai suatu program untuk
menyelenggarakan Kongres Indonesia Raya.
Dalam komperensi berikutnya yang digelar pada
tanggal 4 Mei 1938 atas usulan PSII, didirikanlah suatu badan federasi
Partai-Partai Politik Indonesia (BAPEPPI). Yang bertujuan memberi wadah bagi
kerjasama partai politik Indonesia yang mempunyai cita-cita memajukan
Indonesia. Namun, nasib badan ini menyedihkan, yang mana dalam prosedur
pendirianya saja telah menimbulkan kontroversi, yang mana dari kontroversi
tersebut menjadi alasan organisasi lain tidak enggan untuk masuk. Seperti
Gerindo yang tidak jadi masuk dan Parindra yang menjadi sangat pasif.
2.6
GabunganPolitik
Indonesia (GAPI)
Munculnya inisiatif Thamrin yang sebagai tokoh Parindra untuk
membentuk suatu badan konsentrasi
nasional. Melihat gelegat internasional yang semakin genting serta memungkinkan
keterlibatan langsung Indonesia dalan perang, maka pembentukan badan seperti
itu terasa sangat mendesak, antara lain untuk memupuk rasa saling menghargai
serta kerja sama untuk membela kepentingan rakyat. Dalam rapatnya tanggal 19 Maret 1939 usul
Thamrin disetujui. Dari luar Parindra
pada umumnya tanggapan terhadap ide itu sangat positif. Dikalangan PSII ada yang setuju yaitu Sukiman
dan ada yang keberatan, antara lain Abikoesno. Faktor lain yang agak menghambat ialah
ketidak populeran beberapa tokoh, seperti H.A Salim dan Moh. Yamin dari
Gerindo.
Dua bulan kemudian, 21
Mei 1939, panitia persiapan menyelenggarakan rapat umum di Gedung Permufakatan,
Gang Kenari, Jakarta. Hadir pada waktu itu O. Bratakoesoema, Soeradiredja, Atik Soeardi,
ketiganya dari Pasoendan, Thamrin, Soekardjo Wirjopranoto (Parindra),
Abikoesno, Sjahboedin Latif (PSII), H. Mansoer dan Wiwoho (PII), Ratulangi,
Sjarifoedin, Wilopo (Gerindo).
Diterangkan oleh
Thamrin, bahwa tujuannya ialah membentuk suatu badan persatuan yang akan
mempelajari dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam pelaksanaannya
tiap-tiap organisasi tetap bebas untuk melakukan programnya sendiri. Parindra mengambil inisiatif itu tidaklah
untuk memperoleh kehormatan, namun semata-mata terdorong oleh keadaan mendesak sehubungan dengan
situasi internasional.
Dalam rapat itu
pendirian GAPI disetujui dan diresmikan. Menurut anggaran dasarnya tujuan badan
itu ialah mengusahakan kerja sama antara partai-partai politik Indonesia serta
menjalankan aksi bersama. Adapun asasnya ialah penentuan nasib sendiri,
kesatuan dan persatuan nasional serta demokrasi dalam segi politik, sosial, dan
ekonomi. Direncanakan untuk
menyelenggarakan Kongres Rakyat. Pada umumnya tanggapan masyarakat baik
terhadap lahirnya GAPI yang mempunyai tujuan, bukan seperti yang diperjuangkan PPPKI yaitu kemerdekaan
Indonesia, melainkan kenyataannya hanya merupakan kerja sama antara
partai-partai politik Indonesia.
Sementara itu ada
kelompok lain yang berusaha membentuk badan persatuan, yang antara lain
diprakarsai oleh Moh. Yamin, Rasjid dan Tadjoiddin Noer. Mereka merasakan bahwa
dalam perkembangan politik dilingkungan Dewan Rakyat dan diluarnya, daerah-daerah luar Jawa kurang mendapat
perhatian, maka untuk memperjuangkan kepentingan daerah-daerah itu dibentuk
badan yang disebut Golongan Nasional Indonesia (GNI) pada 10 Juli 1939. Badan ini
di dalam lingkungan Dewan Rakyat disebut Indonesische
Nationalistische Group (Golongan Nasional Indonesia) yang berdiri di
samping Natonale Fractie. Mengenai
peristiwa ini ada tanggapan-tanggapan yang setengahnya mencap tindakan itu
sebagai usaha meningkatkan perjuangan nasional, tetapi setengahnya menganggap
tindakan itu sebagai pemecahbelahan dan akan memperlemah perjuangan.
Dalam kegiatan lebih
lanjut baru akan terbukti mana yang mampu melaksanakan programnya. Salah satu
usaha GAPI yang diselenggarakan melalui wakil-wakilnya setempat ialah Aksi
Parlemen.
2.7 Aksi GAPI “Indonesia Berparlemen”
Pelaksanaan program
GAPI secara kongkret terwujud dalam rapatnya pada 4 Juli 1939. Diputuskan untuk
mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang akan memperjuangkan penentuan nasib
bangsa Indonesia sendiri serta kesatuan dan persatuan Indonesia.
Sebelum aksi dapat
dilancarkan secara besar-besaran, pada tanggal 9 September 1939 sampailah kabar
bahwa Perang Dunia II telah pecah. Dalam pernyataanya pada 19 September, GAPI
menyerukan agar dalam keadaan penuh
bahaya dapat dibina hubungan dan kerja sama yang sebaik-baiknya antara Belanda
dan Indonesia. Diharapkan agar Belanda
memperhatikan aspirasi rakyat Indonesia untuk membentuk pemerintahan sendiri
dengan diberikan suatu perwakilan rakyatnya. Apabila Belanda memenuhi kinginan
itu maka GAPI akan mengerahkan rakyat untuk memberi bantuan sekuat tenaga
kepada Belanda.
Golongan progresif
Belanda (Kritiek en Opbouw) menyerukan kepada pemerintah Belanda agar loyalitas
yang tertera dalam pernyataan GAPI ditanggapi secara positif dengan memenuhi
keinginannya. Sebaliknya ada suara-suara
yang memandang peryataan GAPI itu semata-mata sebagai suatu chantage
(pemerasaan) dengan mengambil kesempatan sewaktu Belanda ada dalam kesulitan.
Manifestasi pertama
dari aksi GAPI ialah rapat umum yang diselengarakan di Jakarta pada 1 Oktober
1939. Dalam bulan itu juga
(23 Oktober) di Sala diselengarakan Konperensi PVPN (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri) yang mendukung sepenuhnya aksi itu.
Sementara itu
terjadilah hal yang tidak terduga sama sekali ialah tindakan GNI untuk
menyampaikan petisi kepada Badan Perwakilan Belanda (staten-generaal) untuk
memberi suatu parlemen kepada Indonesia. Terlepas dari motivasi sesungguhnya
yang ada dibelakang petisi itu, tindakan itu pada umumnya dianggap sangat
merugikan perjuangan kesatuan dan persatuan Indonesia. Persaingan politik
seperti itu menguntungkan pihak Belanda, oleh karena perpecahan di kalangan
kaum nasionalis hanya akan memperlemah perjuanganya saja. Memang peristiwa itu
menimbulkan keresahan dan kericuhan di kalangan kaum nasionalis, ada
kekhawatiran bahwa gerakan nasionalis akan tidak berdaya sama sekali.
Meskipun demikian GAPI
bertekad meneruskan aksinya, dianjurkan agar dimana-mana diadakan rapat cabang
salah-satu anggota GAPI dalam rangka aksi “Indonesia Berparlemen” itu.
Kemudian GAPI
mengambil langkah-langkah untuk menggerakkan cabang-cabang anggotanya, baik di
Jawa maupun di luar Jawa, untuk membentuk panitia setempat guna mempartisipasi
dalam gerakan “Indonesia Berparlemen”. Pada pertengahan bulan Desember 1939
dimana-mana diselenggarakan rapat demonstrasi, salah satu puncak aksi itu ialah
terselenggaranya rapat GAPI yang meresmikan Kongres Rakyat Indonesia. Tujuanya
ialah meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Diputuskan
untuk meneruskan gerakan “Indonesia Berparlemen” serta menyadarkan rakyat akan
pentingnya tujuan pembentukan tata negara demokratis di Indonesia. Selanjutnya dibentuk panitia untuk menyusun
rencana program KRI, yang terdiri atas wakil-wakil dari GAPI, PERDI, PVPN, dan
Istri Indonesia. Kemudian disetujui bersama untuk menetapkan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional, bendera merah-putih sebagai bendera nasional, dan lagu
Indonesia Raya sebagai lagu nasional. Keputusan kongres yang paling penting
ialah bahwa gerakan “Indonesia Berparlemen” perlu di teruskan sebagai badan
eksekutif KRI.
Permasalahan timbul
sekitar pertanyaan dari PPPI ialah tindakan apakah yang akan dilakukan oleh
GAPI kalau permintaan itu ditolak oleh pemerintah Belanda. Menurut PPPI
seharusnya semua anggota perwakilan minta berhenti. Isu itu agak mengeruhkan suasana dan akhirnya
PPPI meninggalkan sidang.
Pada umumnya usul itu
tidak dapat diterima, khususnya dikalangan GAPI, tidak lain karena karena
tindakan itu akan dicap secara kerasdapat diduga bahwa tanggapan pihak perintah
Belanda tidak positif.
Sebagai reaksi
terhadap gerakan itu pemerintah HB memperketat pengawasannya terhadap rapat-rapat kaum nasionalis. Tidak
sedikit rapat yang diselenggarakan, antara lain di Sumatra Utara.
Thamrin mengajukan
masalah pembubaran rapat-rapat dimana-mana dalam DR dengan mengajukan pertanyaan
apakah alasannya untuk bertindak demikian, meskipun sebenarnya gerakan
nasionalis dipandang oleh pihak pemerintah jauh lebih moderat daripada sebelum
tahun 1937.
Pada awal Februari
datanglah jawaban dari Mentri Welter selaku menteri jajahan mengenai masalah
aksi “Indonesia Berparlemen”. Diakui bahwa adalah hal yang wajar dan sah
apabila menurut perkembangan masyarakat, baik dalam bidang materiel maupun
spiritual, akan muncul kecakapan dan kegairahan dalam masyarakat itu untuk
memegang peranan dalam kerangka kelembagaan politik yang pada saat itu ada.
Ditambahkan bahwa selama status politik dewasa ini masih berlaku, yaitu
tanggung jawab ketatanegaraan yang ada pada pemerintah Belanda atas HB, maka
tidak mungkin permintaan gerakan tersebut dipenuhi.
Sudah barang tentu
penolakan itu menimbulkan kekecewaan di mana-mana. Alasan bahwa bangsa
Indonesia belum masak adalah hal yang klasik, meskipun menurut tanggapan waktu
itu justru adanya parlemen akan menjadi alat untuk memasakkan rakyat.
Kesimpulan yang diambil
bahwa jalan yang ditempuh oleh gerakan ialah berpaling kepada rakyat. Dalam rapatnya tanggal 23 Februari 1940 GAPI
menganjurkan pendirian Panitia Parlemen Indonesia untuk meneruskan aksi
“Indonesia Berparlemen”. Segera keputusan itu mendapat dukungan dari Pasoedan,
Parindra, PSII, dan lain-lain. Kesempatan bergerak ternyata tidak ada lagi bagi GAPI
oleh karena pada awal Mei 1940, negeri Belanda diduduki Jerman dan pecahlah
perang.
BAB 3 PENUTUP
3.1
SIMPULAN
Pada awal tahun
1930-an, keadaan ekonomi di Indonesi semakin memburuk karena krisis dunia yang
tak reda-reda. Ekonomi yang di dalamnya bangsa Indonesia hidup tiba-tiba
berubah karena depresi ekonomi yang melanda dunia. Akibatnya, harga beberapa
produk Indonesia menjadi menurun, terjadinya pengurangan kerja, serta
pemotongan gaji. Dampak krisis ini terhadap bangsa Indonesia jelas sangat
serius dan menjadi suatu bencana bagi ekonomi bangsa Indonesia.
Namun,
bukan hanya dalam bidang ekonomi, dalam bidang politik pun demikian. Karena pemerintah
Belanda benar-benar telah condong kekanan. Lebih-lebih saat Bonifacius C. De
Jong menjabat sebagai gubernur jendral. Dia menentang semua bentuk nasionalisme
dan juga tidak inggin melihat Volksraad memainkan peranan penting. Rapat-rapat
politik orang Indonesia sering kali dibubarkan oleh pihak polisi dan para
pembicaranya ditangkap. Dalam lingkungan seperti ini, maka tidak mengherankan
apabila nasionalisme hanya mendapat sedikit kemajuan.
Pada
tahun 1930-an, Belanda benar-benar menguasai Indonesia dan bertekad untuk tetap
begitu. Dari kenyataan atau perumusan tujuan organisasi-organisasi, baik yang
sejak awal bersikap kooperatif maupun yang semula bersikap nonkooperatif,
kesemuanya mengarah pada cita-cita Indonesia merdeka. Meskipun ada perubahan sikap
dan taktik namun fokus perjuangan sudah mantap sehingga titik pengerahan
kekuatan semakin mantap fungsinya sebagai penggemblengan solidaritas nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Kartodirjo,
Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Pringgodigdo, A. K. 1950. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat.
http://pendidikansejarah2012.blogspot.com/2014/03/nasionalisme.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar